Hari ini kami mengikuti jalan sehat dalam rangka Dies Natalis ke-54 FT UB.
"Ibu bertugas dulu ya, Kai jalan sama Ayah."
Sambil bertugas sebagai penerima kupon, aku menunggu Kai dan ayahnya yang ternyata sampai finish pada deretan terakhir.
Alhamdulillah Kai kooperatif, sepanjang perjalanan ia selalu tersenyum pada orang yang menyapanya, beberapa kali senyumnya diikuti dengan bibir "mecucu", ekspresi favoritnya akhir-akhir ini.
Selepas jalan sehat dilanjutkan ramah tamah.
Sambil menunggu pengumuman siapa saja yang beruntung mendapatkan hadiah, peserta dihibur dengan alunan musik, mulai tembang lawas hingga dangdut kekinian.
Kai tak hentinya meminta naik turun tangga hingga aku sempat keceplosan, "Anak kecil ini ngga ada capeknya ya. Sampai orang tuanya yang capek."
Astaghfirullah.. Aku terhenyak. Bukankah anak aktif tanda sehat? Bukankah mengikuti anak aktif sama dengan olahraga bagi diri orang tua yang sering beralasan tak sempat? Bukankah perkembangan motorik anak perlu distimulasi agar sesuai tahap tumbuh kembangnya?
Sambil menatap wajah polosnya saat tertidur setelah bermain dengan begitu aktif, aku meralat kalimat tadi menjadi "Alhamdulillah, anakku diberi kesehatan dan keceriaan. Alhamdulillah orang tua jadi bisa olahraga. Alhamdulillah anakku mulai belajar menaiki dan menuruni tangga."
Well, memang benar, tantangan terbesar dalam komunikasi adalah mengubah pola komunikasi diri kita sendiri. Diksi kita adalah output dari struktur dan cara berpikir kita. Pemilihan diksi adalah pencerminan diri kita. Jadi, mari kita berpikir dan memilih diksi yang positif. Karena kata-kata positif akan membawa energi positif, begitu juga sebaliknya.
"Ibu bertugas dulu ya, Kai jalan sama Ayah."
Sambil bertugas sebagai penerima kupon, aku menunggu Kai dan ayahnya yang ternyata sampai finish pada deretan terakhir.
Alhamdulillah Kai kooperatif, sepanjang perjalanan ia selalu tersenyum pada orang yang menyapanya, beberapa kali senyumnya diikuti dengan bibir "mecucu", ekspresi favoritnya akhir-akhir ini.
Selepas jalan sehat dilanjutkan ramah tamah.
Sambil menunggu pengumuman siapa saja yang beruntung mendapatkan hadiah, peserta dihibur dengan alunan musik, mulai tembang lawas hingga dangdut kekinian.
Kai tak hentinya meminta naik turun tangga hingga aku sempat keceplosan, "Anak kecil ini ngga ada capeknya ya. Sampai orang tuanya yang capek."
Astaghfirullah.. Aku terhenyak. Bukankah anak aktif tanda sehat? Bukankah mengikuti anak aktif sama dengan olahraga bagi diri orang tua yang sering beralasan tak sempat? Bukankah perkembangan motorik anak perlu distimulasi agar sesuai tahap tumbuh kembangnya?
Sambil menatap wajah polosnya saat tertidur setelah bermain dengan begitu aktif, aku meralat kalimat tadi menjadi "Alhamdulillah, anakku diberi kesehatan dan keceriaan. Alhamdulillah orang tua jadi bisa olahraga. Alhamdulillah anakku mulai belajar menaiki dan menuruni tangga."
Well, memang benar, tantangan terbesar dalam komunikasi adalah mengubah pola komunikasi diri kita sendiri. Diksi kita adalah output dari struktur dan cara berpikir kita. Pemilihan diksi adalah pencerminan diri kita. Jadi, mari kita berpikir dan memilih diksi yang positif. Karena kata-kata positif akan membawa energi positif, begitu juga sebaliknya.
Comments
Post a Comment